Wednesday, 18 January 2017

ASAL - USUL DESA SUKOREJO KECAMATAN TAMBAKREJO KABUPATEN BOJONEGORO

DESA SUKOREJO, KECAMATAN TAMBAKREJO, KABUPATEN BOJONEGORO
PENDAMPINGAN MASYARAKAT DESA SUKOREJO, KECAMATAN TAMBAKREJO, KABUPATEN BOJONEGORO
JAWATIMUR
 
 
 
 
 Keberagaman Masyarakat Desa Sukorejo

Dalam suatu Desa terdapat beberapa komponen yang membuatnya menjadi suatu kesatuan. Begitupun Desa yang menjadi tempat kami melakukan kegiatan KKN PAR 2011 yakni Desa Sukorejo Kecamatan Tambakrejo. Komponen-komponen tersebutlah yang menjadikan suatu Desa menjadi besar dan dengan adanya komponen tersebut bisa menjadi daya tarik dari desa tersebut. Komponen tersebut bisa kita lihat dari segi letak wilayah,  sejarah desa, kebudayaan, perekonomian, pendidikan dan kesehatan. Berikut adalah ulasan mengenai komponen-komponen tersebut:
 Deskripsi Letak Wilayah Desa Sukorejo
Desa Sukorejo terletak di wilayah kecamatan Tambakrejo Kabupaten Bojonegoro dengan posisi dibatasi oleh wilayah Desa - desa tetangga. Di sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Padangan Kabupaten Bojonegoro, disebelah Barat berbatasan dengan desa Jatimulyo Kecamatan Tambakrejo,di sisi Selatan berbatasan dengan desa Ngrancang kecamatan Tambakrejo, sedangkan di sisi Timur berbatasan dengan desa Jawik Kecamatan Tambakrejo, sisi Utara berbatasan dengan desa Tanjung Kecamatan Tambakrejo. Jarak tempuh desa Sukorejo kekecamatan Tambakrejo adalah 3,1 km, yang dapat diitempuh dengan waktu sekitar 10 menit, sedangkan jarak tempuh ke ibu kota Kabupaten adalah 52 km, yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar 1 jam.
Desa Sukorejo memiliki luas wilayah sebesar 311,850 Ha dan dibagi menjadi empat dusun, yaitu dusun Taji, dusun Gebang, dusun Brabu, dan dusun plimping. Dengan  batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan desa Tanjung, selatan berbatasan dengan desa Nrancang, barat berbatasan dengan desa Jatimulyo, dan sebelah timur berbatasan dengan desa Jawik.
Dengan gambaran topografi pada luas keminangan lahan datar 100% dan tidak ada lahan bergelombang. Pada ketinggiannya mencapai 16 Hidro. Sedangkan gambaran Klimatologi Suhu desa sukorejo mencapai 03/30  dan curah hujan desa sukorejo 1950 mm, kelembaban udaranya mencapai 03/30 mm sedangkan kecepatan angin tidak diketahui.
Di desa sukorejo memiliki luas lahan pertanian dengan pembagian lahan sebagai berikut sawah tadah hujan 110,7 Ha, ladang tegalan 78,72 Ha, sementara itu luas lahan hutan Negara di Desa Sukorejo seluas 74,81 Ha dan luas lahan pemukiman sebesar 67 Ha. Di wilayah Sukorejo tidak ada kawasan rawan bencana.
Berdasarkan data administrasi pemerintahan desa yang terbaru tahun 2011. Jumlah penduduk desa Sukorejo adalah terdiri dari 1.393 KK. Dengan jumlah total 5.155 jiwa, dengan rincian 2.571 laki-laki dan 2.584 perempuan. bahwa penduduk usia produktif pada usia 20 – 39 tahuun Desa Sukorejo sekitar 1.907 atau hampir 34 %. Jumlah KK prasejahtera mendominasi yaitu 44 % dari total KK , KK sejahtera 14 % , KK mampu hanya 7,5 %, KK sedang 4,1 % dan KK miskin 20 %. Dengan banyaknya KK prasejahtera maka Desa Sukorejo termasuk desa tertinggal. Secara geografis Desa Sukorejo terletak pada posisi 7°21ˈ - 7°31ˈ Lintang selatan dan 110°10ˈ - 111°40ˈ Bujur Timur.
Topografi ketinggian desa ini adalah berupa daratan sedang yaitu sekitar 156 m di atas permukaan air laut. Berdasarkan data BPS Kabupaten Bojonegoro tahun 2010, selama tahun 2010 curah hujan di Desa sukorejo rata – rata mencapai 2.400 mm. curah hujan terbanyak terjadi pada bulan Desember hingga mencapai 405,04 mm yang merupakan curah hujan tertinggi dalam kurun waktu 2000 – 2010 secara administratif.
Desa Sukorejo terletak di wilayah kecamatan Tambakrejo Kabupaten Bojonegoro dengan posisi dibatasi oleh wilayah desa - desa tetangga. Di sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Padangan Kabupaten Bojonegoro, disebelah Barat berbatasan dengan desa Jatimulyo Kecamatan Tambakrejo,di sisi Selatan berbatasan dengan desa Ngrancang kecamatan Tambakrejo, sedangkan di sisi Timur berbatasan dengan desa Jawik Kecamatan Tambakrejo, sisi Utara berbatasan dengan desa Tanjung Kecamatan Tambakrejo. Jarak tempuh desa Sukorejo kekecamatan Tambakrejo adalah 3,1 km, yang dapat diitempuh dengan waktu sekitar 10 menit, sedangkan jarak tempuh ke ibu kota Kabupaten adalah 52 km, yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar 1 jam. 
Penduduk Desa Sukorejo termasuk dalam kategori sumber daya manusia yang memiliki semangat kerja tinggi, terutama para remajanya. Pada usia yang tergolong masa belia, remaja Desa Sukorejo mayoritas telah memiliki pekerjaan dan jarang yang jadi pengangguran. Karena etos kerja yang tinggi dan kurangnya lapangan pekerjaan di daerah pedesaan inilah yang mendorong kebanyakan para pemuda desa pergi merantau demi mencari penghidupan di daerah orang.
Dari faktor perantauan ini pula lah banyak mempengaruhi jumlah penduduk Desa Sukorejo, kardna bisa saja penduduk desa yang saat ini memiliki jumlah 5155 orang ini berkurang dan bertambah. Karena tidak jarang para penduduk desa yang merantau menikah dengan orang daerah lain Desa Sukorejo, kemudian dibawa kembali ke Desa Sukorejo dan menetap di desa ini. Namun bisa juga sebaliknya yaitu ketika orang yang merantau menikah dengan orang asli daerah setempat dan menetap disana. Selain faktor perantauan, jumlah penduduk Desa Sukorejo juga dipengaruhi oleh banyaknya pernikahan dini yang serasa membudaya di daerah ini, banyak warga Desa Sukorejo yang menikah pasca lulus dari sekolah menengah pertama.
Cerita Sejarah Desa Sukorejo
Alur cerita Desa Sukorejo bermula pada tahun 1890 M, minimnya sarana serta prasarana yakni alat transportasi yang ada hanya cikar (gerobak yang ditarik dengan sapi) dan bila ingin bepergian, sebagian besar warga harus berjalan kaki. Pada masa itu nama desa sukorejo tidak ada yang ada hanya desa plimping dan desa taji, dengan pembagian wilayah sebagai berikut : mulai dari perempatan membelah dari selatan ke utara yang sebelah barat masuk wilayah Taji dan yang sebelah timur masuk desa plimping. Karena perkembangan zaman dan warga dari kedua desa tersebut ingin keadaannya lebih ramai, maka dari kedua desa tersebut sepakat untuk menggabungkan antara desa plimping dengan desa taji menjadi satu desa dan hasil penggabungan 2 desa tersebut dinamakan desa sukorejo yang mempunyai makna “suko” artinya Seneng “Rejo” artinya ramai, jadi Sukorejo artinya Suka Ramai. Berikut adalah deskripsi beberapa Dusun yang ada di Desa Sukorejo:


Dusun Taji
Mengenal asal usul dari sebuah wilayah merupakan hal yang penting. Pada awal mula kedatangan kami didesa Sukorejo ini, Bapak Sobirin selaku Kepala Desa Sukorejo telah menceritakan tentang Dewi Sekar Taji kepada kami. Menurut beberapa sumber, nama dusun Taji berasal dari “SekarTaji”. Sekar Taji merupakan nama dewi yang pernah singgah didusun ini, beliau merupakan istri dari Panji Asmoro Bangun yang biasa kita kenal dalam cerita Kleting Kuning dan disini juga dipercaya merupakan tempat pemandian dari sang dewi.
Masyarakat desa Taji lebih condong untuk menyebut nama pendek dari Dewi Sekartaji dengan nama “Taji”. Dari sinilah  mulai muncul sebutan dusun “Taji”. Bapak Achmad Sobirin selaku kepala desa Sukorejo menambahkan bahwa asal nama Taji diambil dari kata “Taji” yang berarti bunga atau jalu, jalu disini melambangkan “keberanian”.
Beliau juga menceritakan asal usul nama dusun Taji dengan Dewi Sekartaji dipercaya pernah singgah didusun ini. Cerita mengenai sejarah nama Taji ini diceritakan bapak Sobirin sangat lengkap, karena beliau berdomisili didusun Taji. Sehingga beliau lah yang kami anggap berkompeten untuk menceritakan tentang asal usul nama dusun Taji ini.
Dusun Plimping
Pada awal muncul desa sukorejo hanya muncul 2 dusun, yaitu dusun Plimping dan dusun Taji. Dimana di desa itu masyarakatnya hanya sedikit dan belum maju. Akhirnya muncullah lagi dusun Gebang  dan Dusun Brabo. Adapun tujuan diatambahkan Dusun agar penduduk bertambah banyak dan menjadi desa maju.
     Namun untuk sejarah dusun Plimping sendiri “Kulo mboten semerap mbak lan mas, seng semerap namung para sesepuh Dusun, tapi tiange pun sedo” kata pak Jaiz selaku kepala Dusun Plimping.  Tapi katanya arti Plimping  itu sendiri “sembunyi” , dimana Desa Plimping itu berada di pojok dan seakan bersembunyi. Alhamdulillah meskipun warga tidak mengetahui sejarah dusunya, penduduk tetap maju, bersatu dan tentram. Semua ini atas kepemimpinan Pak Jaiz.
Pemilihan Kepala Dusun ternyata bukan atas pemilihan warga penduduk, namun melalui ujian yang diadakan di Kantor Kecamatan. Akhirnya Pak Jaiz lah menjabat sebagai kepala Dusun mulai Tahun 1992 dan akhirnya terbentuk para kepala RT yang terdiri dari 6 RT, mulai dari RT 10,11,12,13,14 dan 15, sekarang Pak jaiz sudah 18 tahun menjabat sebagai kepala dusun. Masa jabatan kepala Dusun sangat lama karena di batasi sampai umur 64 tahun.
Para penduduk  pada Dusun Plimping mayoritas bekerja sebagai Buruh tani, karena tiap penduduk sedikit sekali yang mempunyai lahan sawah dan bisa dihitung dengan jari. Meskipun penduduk hanya sebagai buruh tani mereka sangat senang, tenang dan rukun. Dan Alhamdulillah cukup untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan membiayai sekolah anak-anaknya. Itu semua berkat lahan sawah bapak Bayan, Kepala Dusun, dan para perangkat dusun lainya.
Di Desa Plimping tidak hanya para kaum adam yang bekerja, namun para kaum hawa juga mencari sebuah nafkah melalui berdagang, dari berdagang sayur keliling, beras, dan took kecil-kecilan menjual bahn kebutuhan rumah tangga. Dari itulah setiap rumah tangga tercukupi kebutuhan rumah tangganya.
Dusun Brabo
Dusun Brabo adalah bagian dari wilayah Desa Sukorejo, dari segi historisnya Dusun Brabo  dilahirkan dari dua Dusun sbelumnya yang telah ada terlebih dahulu, yaitu Taji dan Plimping, dan Dusun Brabo berada di antara Dusun tersebut dimana posisinya sangat strategis di perempatan jalan Desa yang merupakan sendi perekonomian dari Desa Sukorejo karena terdapat Pasar di dalamnya.
Dusun Brabo sendiri terdiri dari Sembilan (9) RT dan dua (2) RW. Dimana didalamnya terdapat +- 152 KK, kebanyakan dari Kepala Keluarga (KK) di dusun ini merupakan para pendatang salah satunya ada yang berasal dari Solo, Magetan, dan biasanya para masyarakat pendatang ini lebih sukses dari masyarakat asli karena mereka ini telah siap untuk untuk berwirausaha dan tahu potensi yang ada untuk dikembangkan semaksimal mungkin, dan mampu memperoleh hasil Usahanya dengan maksimal.
Menurut bapak Slamet Widjono selaku kepala dusun Brabo, sebagian besar warga dusun Brabo adalah orang pendatang dari kota lain seperti Solo dan Magetan. Tapi mayoritas para para pendatang ini adalah pegawai dan pengusaha, dan banyak pula yang berdagang di Pasar Sukorejo. Seperti yang dari Solo biasa jualan bakso dan mie ayam, sedangkan yang berasal dari Magetan kebanyakan berjualan emas di Pasar Sukorejo. Dan rata-rat orang-orang yang sukses disini adalah para pendatang itu disebabkan karena para pendatng disini lebih kreatif serta mengetahui potensi apa yang akan ia  kembangkan di Dusun Brabo sehingga dia bisa meraih sukses dengan potensi itu.
Pola pikir warga dusun Brabo cenderung seperti masyarakat kota kerena memang sebagian besar warga pendatang berasal dari koa yang punya wawasan dan banyak pengetahuanya, lebih-lebih khusus di dusun Brabo telah masuk jaringan internet yang memberikan banyak pengetahuan, lebih-lebih kepada generasi-generasi uda berikutnya untuk menjadi lebih baik.
Matapencaharian warga dusun Brabo mayoritas pegawai dan pengusaha, hanya sebagian kecil saja yang bekerja sebagai petani. Terus ada juga yang menjadi buruh tani, kemudian tukang cuci pakaian.
Perekonomian dusun Brabo tergolong paling maju diantara Dusun lainnya di desa Sukorejo. Ini dikarenakan dusun Brabo merupakan sendi perekonomian Desa Sukorejo, karena terdapat Pasar dan banyak pertokoan yang bersandingan disini. Dan pengunjungnya pun sangat banyak termasuk dari Desa atau bahkan kota lain. Apalagi ketika tahun baru, jalan akan semakin padat oleh para pengunjung.
Untuk pertanian menurut beliau, hanya berkisar 30%, karena memang lahan pertniannya dusun Brabo tidak terlalu luas. Kondisi lahan kebanyakan milik sendiri. Sementara Tanaman pokok yang ditanam adalah padi, kemudian diselingi jagung dan kedelai. Untuk kegiatan RT berupa Arisan, yang terdapat disetiap RT Dusun Brabo.
Dari bidang keagamaan, terdapat Pondok Pesantren disana, dan terdapat kegiatan rutin seperti tahlilan yang selalu diikuti oleh warga. Belum lagi di setiap RT (dari RT 1 – 9, kecuali RT 6) terdapat kegiatan rutin berupa tahlilan seperti system arisan yang digilir dari rumah satu pada minggu ini, dan kerumah nama yang keluar pada minggu berikutnya. Kemuidian terdapat tempat ibadah seperti mesjid berjumlah 1 bangunan, dan juga terdapat 5 mushola (semua RT ada mushola Kecuali RT 4,5 dan 8) dimana ditempat ibadah itu terdapat pendidikan agama pada waktu sore dan malam berupa TPQ ataupun Diniyah
Pendidikan    di dusun Brabo terdapat 1 gedung sekolah SD (SDN 1 Sukorejo), juga terdapat 1 MTSD, 1 TK tingkat pendidikan Al-Qur’an tingkat dini di komplek Masjid. Juga terdapat pendidikan agama pada waktu sore dan malam berupa TPQ ataupun Diniyah yang bertempat di hamper tiap bangunan  ibadah.
Kesehatan di dusun Brabo telah terbangun satu Puskesmas yang telah ber-evolusi menjadi seperti Rumah Sakit yang siap melayani penuh selama 24 jam nonstop. Dengan tenaga abdi sosial berupa satu dokter umum, satu dokter gigi, juga dibantu oleh beberapa perawat.
Makanan pokok dan konsumsi Berupa beras dan rata-rata menghabiskan ½ kg beras yang dikonsumsi oleh 5 orang dalam keluarganya.
Energi yang dipakai masyarakat dusun Brabo telah beralih ke Energy LPG karena konversi peralihan energy dari Minyak tanah ke LPG, disamping itu penggunaan LPG dianggap lebih mudah dan praktis.
IPTEK telah masuk Warnet sebagai jendela pengetahuan, terdapat Tower jaringan telekomunikasi, Jaringan televisi sudah masuk walaupun harus dengan antena yang tinggi.
Dusun Gebang
Sejarah Dusun Gebang menurut cerita salah satu tokoh masyarakat yaitu bapak Zainal yang selaku Kepala Dusun Gebang mengemukakan bahwa pada zaman dahulu  ada seseorang yang mengembara di sebuah tempat, konon pengembara itu bernama Tumenggung Sarijo. Setelah kadatangan tumenggung sarijo di daerah itu, mengalami perubahan baik dari  segi jumlah penduduk, mata pencaharian, keagamaannya dan lain – lain.
Seiring berkembangnya jumlah penduduk maka kemudian tumenggung sarijo memberi nama GEBANG PINATAR. Makna ” Gebang “ sendiri berawal dari kata“ GEB – KEMANGGEB “ yang berarti “ dhuwe barang sitek tapi wis kemanggeb (pamer)”. Mung niku mawon mbak sing kulo ngerti soale kulo piambak sanes tiang mriki tapi tiang moncol( Hanya itu saja mbak yang saya tau karena saya sendiri bukan orang asli Gebang tapi orang dari luar” ujar bapak zainal selaku Kamituwa Dusun Gebang. Dusun Gebang dulu terkenal sebagai dusun Bromocorah.
Namun melihat sejarah daerah Dusun Gebang ini, kondisi yang dialami warga sudah banyak mengalami perubahan, ini semua berkat kegigihan masyarakat untuk lebih maju. Oleh sebab itulah maka kemudian dibentuklah struktur organisasi kemasyarakatan. Yaitu ditandai dengan mulai terbentuknya 4 RT ( RT 26, RT 27, RT 28, dan RT 29 ) dengan 1 RW yaitu RW 26 di Dusun Gebang. Di Dusun Gebang sendiri terdapat  163 KK, dengan total keseluruhan warga   500 jiwa penduduk.
Seiring dengan berjalannya waktu mulailah dilakukan pembangunan Musolla Agung di Dusun Gebang. Pembangunan Musolla tersebut berawal dari keperihatinan bapak Zainal yang pada waktu itu belum menjabat sebagai Kamituwa gebang. Tepat pada saat Romadhon tiba dalam pikiran beliau “ kenapa ko sholat terawih sampai di balai desa, opo gak enek nggon toh!!! Esok bar digae sepatu terus engko sore dipel di gae sembahyang”. Tidak lama kemudian, pak zainal mendengar ada salah seorang warga yang bernama Alm. H. Sanusi yang mewakafkan tanahnya untuk digunakan Musholla Agung di Dusun Gebang.
Pada saat pembangunan mushollah tersebut, pak Kamituwa bermimpi didatangi oleh perempuan cantik akan tetapi telah bersuami yang kemudian perempuan tersebut berubah menjadi Alm. H. Sanusi. Hingga saat ini telah ada kurang mlebih 5 mushola yang ada diDusun Gebang.
Melihat keadaan diwilayah Dusun Gebang, mata pencaharian setiap penduduk tentulah berbeda – beda ada yang berprofesi sebagai petani, pedagang, membuka usaha, karena pada dasarnya diwilayah Dusun Gebang memiliki kendala berupa kurangnya lahan pertanian. Namun ada juga warga yang memiliki sendiri lahan pertanian, dan tidak jarang pula ada warga yang bekerja sebagai Buruh tani yang bekerja mengelola lahan pertanian yang bukan miliknya sendiri. 
Tradisi dan mitos pada masyarakat merupakan suatu kebiasaan yang berlangsung dengan disertai suatu keyakinan. Adapun tradisi yang dilakukan oleh seluruh komponen adalah Nyadran atau Manganan yang berarti merupakan kegiatan yang dilakukan sebagi salah satu tradisi bersih desa atau dengan kata lain dapat disebut pula sebagai Sedekah Bumi. Tradisi Manganan merupakan kegiatan masyarakat Dusun Gebang sebagai salah satu rasa syukur dan ungkapan terima kasih kepada orang – orang pertama yang telah membuat dusun menjadi sebuah pemukiman warga. Maksud dari orang – orang pertama yaitu mereka yang awal mulanya membuka tempat pemukiman warga atau yang disebut dengan Babat Alas. 
Manganan atau Nyadran biasanya dilakukan ditempat awal pertama kali Alas dibabat. Misalnya di Dusun Gebang. Tempat pertama kali babat alas yaitu didaerah Karang Gilang. Kebiasaan masyarakat Dusun Gebang dalam pelaksanaan Manganan atau Nyadran yaitu dengan membawa Ambeng ( Nasi di tampah ). Manganan dilakukan dengan saling bertukar makanan antar tetangga, biasanya tradisi manganan tersebut dilaksanakan setiap 1 bulan setelah panen. Kegiatan Manganan atau Nyadran hanya dilakukakan di sekitar makam mbah Sarijo (  Sesepuh Dusun Gebang )dan dipohin beringin di Karang Gilang. 
 
Keanekaragaman Budaya Desa Sukorejo Kecamatan Tambakrejo
“Kebudayaan merupakan warisan yang patut dijaga keberadaanya dan kebudayaanlah dapat mengikat antar masyarakat di suatu Desa ”. Budaya merupakan salah satu pemersatu masyarakat di suatu desa. Begitu juga halnya dengan masyarakat desa Sukorejo yang merasa dipersatukan dengan budaya. Kebudayaan di desa Sukorejo diisi oleh beberapa unsur yakni kebudayaan yang bersifat kejawen dan islami. Namun, yang lebih dominan adalah kebudayaan dengan unsur-unsur jawa. Beberapa mitos atau kepercayaan Jawa juga sangat kental dalam budaya di desa Sukorejo. Pasar yang diambil namanya dari hari pasaran Jawa yakni hari Pahing. Berikut adalah keanekaragaman budaya yang telah kami identifkasi selama kami mahasiswa KKN PAR 2011 berada di desa Sukorejo:
 
1.  Tradisi Berziarah Ke Makam Mbah Pendek
      Tempat kedua yang dianggap keramat oleh warga yakni pesarean Mbah Pendek yakni yang merupakan sebuah makam tempat menyimpan  peninggalan –peninggalan Mbah Pendek selama menyebarkan agama islam di dusun Taji.
Asal mulanya berawal dari seorang yang bernama Minak Anggrong  yang datang bersama tiga rekannya yakni Ismari Napis, Marsani Ngrangseng dan Nyi Ageng sentani ( Mbah Pendek ). Mbah pendek yang membawa islam pertama kali di dusun Taji ini  menyebarkan ajaran agama islam lewat media Wayang krucil, yakni wayang yang terbuat dari kayu dan cerita pewayangannya berbeda dengan wayang kulit, ceritanya mengangkat tema ludruk.
Adapun kebiasaan masyarakat setempat apabila hendak memasuki wilayah makam Mbah pendek adalah membaca ayat kursi. Hal tersebut dilakukan untuk menghormati sosok Mbah Pendek yang membawa ajaran agam  islam ke dusun Sukorejo. Penduduk setempat melakukan acara bersih desa di makam Mbah pendek setahun sekali pada bulan suro. Yakni sebuah acara syukuran yang dilakukan setelah panen dan dilakukan pada hari jumat pon. Semua penduduk berduyun-duyun membawa hasil desa dan menampilkan wayang krucil yang dimainkan oleh warga sendiri.
Selain itu, tiap malam jum’at pon masyarakat biasanya mengunjungi makam mbah pendek. Masyarakat biasanya membawa sesajen berupa: bunga 7 rupa, nasi beserta lauk pauknya (ayam panggang, urap-urap, tempe-tahu, ceriping) atau tumpeng, air yang ditaruh didalam kendi. Biasanya masyarakat mengunjungi makam mbah pendek di malam jum’at pon.
Ketika waktu semakin malam, maka akan semakin ramai pula masyarakat yang mengunjungi atau berziarah ke makam mbah pendek. Mereka melakukan ritual seperti:  bertahlilan di area terluar makam, kemudian berziaroh ke dalam area makam mbah pendek. Setelah itu, mereka membagi makanan seperti: ayam yang dibagi menjadi kepala, sayap dan kaki (mereka menyebut kebiasaan ini dengan “gagakan”), mereka menaruh “gagakan” di dekat batu nisan mbah pendek. Selang beberapa waktu,  mereka mengambil “gagakan” tersebut dan kemudian dibagikan lalu dimakan bersama-sama diarea terluar makam atau dimakan secara bersama-sama dirumah.
Namun, sebagai syarat, mereka haruslah memakan sedikit “gagakan” tersebut disana. Bapak Achmad sobirin selaku kepala desa mengatakan “Nek pengen diarani afdol, biasane wong-wong seng nyambangi makam mbah pendek kudu maem tumpengan iku ndek area makam mbah pendek”. Yang menjadi keunikan tradisi ini adalah dimana setelah masyarakat bertahlilan dan masuk kedalam area makam mbah pendek, kita harus minum air dari kendi secara bergantian. Hal ini juga dianggap menjadi syarat wajib yang harus dilakukan ketika mengunjungi makam mbah pendek.
 
2.   Sekar Taji
       Sekar Taji, nama ini merupakan nama  yang tak bisa dilepaskan dari desa Sukorejo. Sekar Taji merupakan simbol budaya dari desa Sukorejo. Berdasarkan cerita dan mitos yang ada, Sekar Taji yang berbentuk fisik sumur ini merupakan “Sendang” dari Dewi Sekar Taji yang sering mandi di “Sendang” tersebut. Dewi Sekar Taji merupakan istri dari Panji Asmoro Bangun yang biasa dikenal dalam cerita “Ande-ande Lumut” dari kerajaan Kediri. Karena kondisi kerajaan yang tidak kondusif, Dewi Sekar Taji berpisah dan kemudian Dewi Sekar Taji singgah ke desa Sukorejo.
Pak Jais Menuturkan “Sekar Taji iku panggonane aduse Dewi Sekar Taji, mbak. Lah buktine ono sumur ndek daerah kunu.” Biasanya masyarakat desa Sukorejo berziarah ke “Sendang” ini pada saat malam kamis jum’at legi. Tradisi nyekar ini dipercaya bagi sebagian masyarakat desa Sukorejo bisa memperoleh keberuntungan, sementara bagi sebagian masyarakat hanya sekedar ritual yang biasa dilakukan atau sekedar ritual rutin.
Seperti kebiasan ritual, masyarakat membawa segenap sesajen, baik berupa tumpeng atau bunga  dan air yang ditaruh di kendi. Segenap sesajen tersebut diletakkan didepan sumur atau sendang tersebut. Kenapa dipilih malam kamis jum’at legi, karena pada malam itu dipercaya bahwa Dewi Sekar Taji sedang mandi di sendang tersebut. Sehingga waktu itulah yang diaggap paling tepat untuk berziarah ke Sekar Taji. Dengan adanya mitos tentang Sekar Taji, maka muncullah dusun Taji.   
 
3.   Tradisi Tambangan
       Tradisi tambangan ini merupakan tradisi yang terjadi ketika masyarakat desa Sukorejo bertakziyah ke keluarga orang yang meninggal dan mereka mendapatkan uang yang ditaruh didalam amplop. Uang ini diberikan oleh keluarga orang yang meninggal kepada pelayat. Selain itu, ambengan juga dapat dilihat pada saat ada warga yang sedang menyelenggarakan hajatan seperti: seribu hari orang meninggal.
Di dalam ambeng atau berkat yang akan diberikan pada undangan, sang pemilik hajat, memberikan sebuah amplop yang berisi uang kedalam ambeng tersebut. Intinya, tambangan ini adalah uang yang ditaruh diamplop dan uang ini diberikan oleh sang pemilik hajat kepada para undangan atau diberikan oleh keluarga orang yang meninggal kepada para pelayat
 
4.  Tradisi Jumputan dan Tradisi Iuran Kas RT
     Tradisi ini biasanya dlaksanakan oleh masyarakat dusun Taji dengan cara mengumpulkan beras sejumput atau setara dengan satu gelas  air mineral.  Masyarakat dusun Taji mengumpulkan beras sejumput ini setiap kali ketua RT mengumumkan untuk mengumpulkannya. Mereka biasanya meletakkan jumputan beras ini didepan rumah dan ada seorang yang telah ditunjuk oleh ketua RT untuk mengambil jumputan beras ini.
Namun, tradisi ini lambat laun digantikan oleh tradisi iuran RT. Tradisi ini adalah iuran yang secara rutin dibayar oleh warga dan dimasukkan kedalam kas RT. Besar iuran disesuaikan oleh keadaan keuangan tiap warga di tiap RT, jadi tiap RT berbeda dengan RT yang lain yang ada di dusun Taji. Uang iuran ini dikelola oleh tiap bendahara RT  dan uang ini biasanya digunakan untuk pembangunan dusun.
Akan tetapi, uang ini terkadang juga dimanfaatkan sebagai dana untuk membantu masyarakat yang sedang sakit. Di tiap tahunnya, jikalau terdapat uang sisa, biasanya akan dibagikan pada tiap warga di tiap Idul Fitri tiba. Bapak kepala dusun Taji mengatakan bahwa tradisi jumputan dan kas iuran RT ini adalah sarana untuk membangun kerukunan antar warga di tiap RT. Dengan adanya tradisi seperti ini, warga diharapkan dapat selalu kompak dan selalu membina kerukunan di tiap kesempatan.   
 
5.   Pasar Pahing
      Di desa Sukorejo terdapat sebuah pasar yang merupakan tempat jual beli yang sangat ramai. Puncak keramaian di pasar yang berada di dusun Brabo Sukorejo ini adalah pada saat hari pasaran Jawa yakni tiap Pahing. Dari nama Pahing ini, akhirnya masyarakat menyebut pasar ini dengan “Pasar Pahing”. Pasar Pahing ini merupakan ajang berkumpulnya pedagang dari berbagai desa yang ada di kecamatan Tambakrejo.
Pasar ini juga dimanfaatkan oleh penduduk lokal Sukorejo untuk mengumpulkan rupiah. Jika selama hari-hari biasa, pasar ini tidak terlalu ramai dan agak sepi penjual. Namun lain halnya jika pasaran Jawa (Pahing) telah tiba. Pasar yang sebelumnya sepi, menjadi ramai oleh hiruk pikuk orang yang berdagang dan para pengunjung pasar itu sendiri. Sehingga, ketika pasar Pahing ini berlangsung, masyarakat berbondong-bondong untuk mengunjunginya. Pasar ini merupakan pusat perputaran ekonomi dan sebenarnya merupakan aset yang masih bisa diorganisir dengan baik oleh desa Sukorejo.
Segala macam barang dan aneka macam kebutuhan sehari-hari bisa kita temukan di pasar ini. Sebagai contoh, kita bisa menemukan penjual kambing atau sapi, tikar yang terbuat dari anyaman bambu yang dianyam sendiri oleh penduduk lokal, baju-baju, peralatan dapur yang beraneka-ragam perlengkapan sepeda motor dan masih banyak lagi yang lainnya. Menurut Bu Sutinah (penjual lontong sayur) “pasar pahing iku panggone wong dodolan macem-macem nduk, kabeh iso ditemukno neng pasar Pahing”.
 
6.   Wiwit (Selamatan Sebelum Panen Raya)
      Wiwit  merupakan salah satu dari banyaknya keanekaragaman budaya di desa Sukorejo. Wiwit bisa  dikatakan sebagai sedekah bumi. Disebut dengan sedekah Bumi, hal ini dikarenakan wiwit merupakan tradisi yang dilakukan oleh pemilik sawah yang akan memanen padinya.
Tradisi ini adalah hal yang wajib dlakukan oleh setiap warga yang memiliki  lahan sawah dan akan memanen sawahnya di keesokan harinya. Didalam wiwit ini biasanya disertakan tumpeng dan segenap lauk pauknya. (Gambar tumpeng) Tradisi ini dimulai dengan pembuatan tumpeng atau ambeng. Tumpeng atau ambeng ini berisi nasi putih, sayuran yang dimasak dengan berbagai macam olahan rasa, lauk-pauk (bisa berupa tempe, tahu Mbah Mashadi memangkas beberapa potong padi, yang selanjutnya dibawa pulang oleh sang pemilik sawah. 
Beliau memanjatkan do’a dengan khusyu’ untuk keselamatan padi dan kelancaran selama proses memanen padi di esok hari. Setelah mendoakan, mbah Mashadi membuka tumpeng atau ambeng yang dibungkus oleh kain. Tumpeng atau ambeng tersebut dibagikan kepada semua undangan yang hadir pada saat itu. Setelah semua ambeng dibagikan, tibalah sang pemilik sawah pulang dan menyiapkan untuk panen esok hari. Wiwit biasanya dilaksanakan sehari sebelum pemilik sawah memanen sawah mereka.
Tradisi ini mempunyai makna tersendiri, selain bermakna sebagai sedekah atau syukuran sebelum panen. Tradisi seperti ini patutlah dilestarikan sebagai pengikat antar warga. Karena dengan adanya acara seperti ini, dipercaya dapat mempererat silaturrahmi antar warga dan bisa membangun keharmonisan antar warga, baik warga yang berprofesi sebagai petani atau bukan.

No comments:

Post a Comment